Rabu, 28 September 2022, Program Studi (Prodi) Hukum Keluarga Islam (HKI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyelenggarakan kuliah perdana bersamaan dengan peluncuran Corporate Law School. dalam kesempatan tersebut, prodi HKI-UMM menghadirkan Dr. K.H. Saad Ibrahim, M.A, seorang pakar Hukum Islam dan Dian Aminudin S.H.,M.H., Ketua Peradi Kota Malang. Keduanya hadir di Aula GKB 3 lantai VI UMM untuk memberi kuliah pada seluruh mahasiswa/i prodi HKI-UMM.
Pada sesi kuliah Kiai Saad, begitu beliau akrab disapa, menjelaskan mengenai gerakan pemikiran hukum di Indonesia pada dasarnya telah dirintis dalam waktu yang cukup lama seiring dengan keberhasilan perjuangan fisikal bangsa Indonesia, jelasnya.
“Dalam perspektif historis, ketika dirumuskan dan disahkan dalam piagam Jakarta, yang kemudian termanifestasikan kedalam pembukaan undang-undang dasar 1945, adalah rentetan perjalanan sejarah pemikiran hukum Islam di indonesia, untuk mengakhiri cengkeraman teori iblis receptie yang diwujudkan oleh pemerintah kolonioal melalui politik tipu daya pihak penjajah itu”.
Selanjutnya beliau menerangkan, sejak disahkan undang-undang dasar 1945, maka terhapuslah secara formal teori tersebut. Walaupun demikian, pengaruh teori receptie itu tidak hilang begitu saja, sehingga Indonesia merdeka dan bahkan sampai dengan pengumbalan undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang pertadilan agama, sisa-sisa pengaruh teori receptie itu masih kuat menghujam dalam pemikiran sebagian kaum muslimin Indonesia.
Kenyatan ini dapat dilihat pada asas mengamandemen undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Pewaris teori receptie cenderung menolak atau sekurang-kurangnya berusaha untuk meminimalkan terjadinya kodifikasi hukum Islam kedalam hukum formal Indonesia.
Namun berkat perjuangan daripada para pemikir IslamIndonesia, maka gerakan pembaharuan hukum Islam tersebut dapat dilakukan secara kontinyu, jelas pria yang juga menjabat sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Pada sesi selanjutnya, Dian menerangkan mengenai praktik-praktik Hukum Islam di Indonesia, lebih spesifik pada tingginya angka percerain di Kabupaten Malang. angka perceraian di tahun 2021 sebanyak 6.429 perkara. Pengadilan Agama sebagai salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman memiliki kontribusi yang dominan dalam penjaminan hak-hak sipil dan perlindungan hukum masyarakat yang menjadi bagian dari kewenangannya.
Menuruntya, kajian Hukum progresif lahir karena keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. keadaan hukum itu secara makro disebutnya tidak kunjung mendekati keadaan ideal, yaitu menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya.
Konsep ini dipelopori oleh Satjipto Rahardjo yang ingin mencari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum secara lebih bermakna, dalam artian pengubahan secara lebih cepat, pembalikan yang mendasar, pembebasan, terobosan dan lain-lain.
Cara tersebut dilakukan pertama-tama dengan menempatkan kedudukan manusia dan kemanusiaan sebagai wacana utama atau primus dalam pembahasan dan penegakan hukum, sehingga dalam suatu pola hubungan antara hukum dan manusia, berlaku hubungan “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya manusia untuk hukum”.
Konsep hukum progresif tersebut sebenarnya linear dengan konsep perlindungan hukum yang tercantum dalam maqashid syariah. Bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk melindungi agama saja, melainkan harus juga memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap jiwa, akal, keturunan dan harta.
Konsep dari Maqashid Syariah yang telah lahir beberapa abad silam di kalangan intelektual muslim (ulama), telah mengejawantahkan dirinya dalam bentuk pendobrakan terhadap kebuntuan berfikir melalui semangat reinsterpretasi terhadap nash. Tentu lahirnya semangat berijtihad tersebut harus sesuai dengan koridor tujuan hukum Islam itu sendiri, pungkasnya. (ik)