Jumat, 23-25 Agustus 2019, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menghelat "Madrasah Literasi Kaum Muda Muhammadiyah."
Program ini merupakan training bagi kalangan millenial di lingkungan Muhammadiyah, agar mereka semakin mahir dalam dunia literasi.
Di dalam forum tersebut, pada hari pertama, hadir Iqbal Aji Daryono (kolumnis Tirto dan Detik), Hasnan Bachtiar (kolumnis IBTimes, Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah dan Dosen Hukum Keluarga Islam, FAI UMM), Fajar Riza Ul Haq (Staf Ahli Kemendikbud) dan Lya Fahmi (Influencer).
Dalam program tersebut, Hasnan mengajukan argumentasi bahwa literasi tradisional akan bertahan lama. Membaca, menulis dan berdiskusi akan menjadi kegiatan yang lebih abadi ketimbang hal-hal lain.
Bagaimana memahami hal ini? Secara teoretis, tradisi membentuk kebudayaan. Sementara kebudayaan, membangun peradaban. Tradisi ini adalah - menurut Armando Salvatore dan Said Amir Arjomand - sekumpulan argumentasi dan praktik-praktik dari tatanan sosial tertentu yang melibatkan aksi komunikatif dan transfer pengetahuan dalam rangka memastikan relasi sosial dan kohesi sosial di tengah masyarakat (kontestasi). Para sarjana sosial lain yang memiliki pemikiran yang serupa adalah Shmuel N Eisenstadt dan Johan Arnason.
Siapa agensi penggerak tradisi ini? Tokoh-tokoh penting, penguasa, intelektual maupun orang biasa. Intelektual mempengaruhi pengetahuan publik dan sebaliknya, konteks sosial turut membangun cakrawala berpikir seorang intelektual (kita bisa memahami secara lebih komprehensif masalah ini, melalui buku "Ieology and Utopia," karangan Karl Mannheim).
Karena itu, karya popular dalam konteks teoretis ini begitu penting. Hal itu menjadi instrumen kontestasi wacana publik yang lebih luas di tanah air. Semakin mudah dibaca, dipahami dan dinikmati, semakin cocok sebagai alat dalam aksi komunikatif.
Karena itu tulisan-tulisan pendek namun berisi, lebih berpengaruh ketimbang jurnal-jurnal akademik. Meskipun sebenarnya, jurnal akademik saat ini menjadi instrumen yang sama bagi masyarakat akademik (civitas akademika).
Apa hal yang paling penting dalam karya literasi tradisional? Motif "pengarang" di balik wacana yang dikontestasikan. Hukum yang berlaku dalam konteks ini adalah power determines knowledge (baca Knowledge and Human Interest, karya Jurgen Habermas). Karena itu, kesimpulannya adalah siapa pemilik skenario dalam menggerakkan wacana, merupakan agensi yang sangat penting?
"Skenario tentu memiliki Ideologi. Sedangkan Ideologi mengandung nilai-nilai etis tertentu. Di dalam Muhammadiyah, nilai yang terpenting yang harus kita perjuangkan betul-betul adalah Islam Berkemajuan. Apa Islam yang Berkemajuan? Islam yang interpretasi dan manifestasinya menunjukkan bahwa Islam dan kaum Muslim itu damai, toleran, inklusif dan yang paling penting adalah moderat (washatiyyah). Pertanyaan saya adalah siapa pejuang Islam Berkemajuan ini? Mari kita memperjuangkan melalui keterampilan membaca secara kritis, tulis-menulis, debat ilmiah dan memenangkan kontestasi wacana yg ada", ujar Hasnan Bachtiar Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah sekaligus Pengajar di Prodi Hukum Keluarga Islam, FAI UMM