Dalam menyeleseikan sengketa, masyarakat Indonesia cenderung memilih jalur pengadilan. Padahal ada jalan-jalan lain yang bisa ditempuh, yakni Mediasi. Demikian dikatakan Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Tinuk Dwi Cahyani, dalam keterangannya di Malang, Selasa (11/5).
Menurut Tinuk, harus diakui dalam menyelesaikan sengketa, masyarakat Indonesia cenderung memilih jalur pengadilan. Padahal, ada jalan-jalan lain yang bisa ditempuh yakni melalui mediasi. "Kenyataan inilah yang mendorong saya untuk menulis buku khusus mengenai alternatif sengketa, yakni mediasi. Buku tersebut berjudul Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa," kata alumni prodi Hukum Keluarga Islam FAI-UMM ini.
Tinuk menambahkan, saat ini masyarakat masih kurang mengetahui bagaimana proses mediasi. Padahal cara ini menjadi alternatif yang bisa dicoba selain arbitrase untuk perkara perdata seperti harta bersama. Adapun dalam bukunya, ia tidak hanya menulis beragam teori saja, namun juga memberikan contoh proses dan dialog yang biasa dilakukan.
"Jadi pembaca bisa mengetahui dan sedikit merasakan jalannya mediasi. Di antaranya terkait bagaimana mediator membuka hingga menutup, apa yang harus disampaikan pihak satu dan pihak lainnya. Sehingga saya rasa pembaca bisa dengan mudah memahami isi buku ini," ungkap peraih double degree strata satu ini.
Tinuk juga mengungkapkan bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat, warganya sudah memahami alternatif sengketa selain melalui pengadilan. Karena itu, ia berharap buku yang disusunnya ini mampu memberikan sumbangsih keilmuan dan wawasan bagi masyarakat luas. Adapun produk hukum dari mediasi ini adalah akta perdamaian yang nantinya bisa didaftarkan ke pengadilan. Kemudian dijadikan sebagai penetapan maupun putusan.
"Alasan lain ya agar masyarakat tidak sedikit-sedikit ke pengadilan. Apalagi kalau lewat pengadilan, prosesnya akan sangat panjang serta putusannya diberikan oleh hakim. Berbeda dengan mediasi yang di dalamnya ada negosiasi, jadi para pihak bisa menemukan jalan tengah yang baik bagi keduanya," tuturnya.
Mengenai proses penulisan dan penyusunan buku yang kemudian diterbitkan oleh UMM Press pada Maret 2022 itu, Tinuk mengaku tidak banyak mengalami kendala. Satu hal yang membuatnya kesulitan adalah minimnya literatur yang mengkaji mediasi. Berbeda dengan arbitrase yang kini sudah tersedia cukup banyak. Beruntung, Tinuk sendiri sempat mengikuti pelatihan mediator yang bersertifikat Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu. Hal itu memberikan banyak materi dan sumbangsih dalam bukunya sehingga ia tidak kekurangan bahan. Apalagi kini Tinuk merupakan seorang mediator. Sehingga akan banyak kasus dan pengalaman yang bisa ia bagikan di bukunya tersebut.
"Saya berharap buku baru ini bisa menambah literatur dan wawasan masyarakat terkait mediasi. Dengan begitu mereka dapat lebih jelas memahami. Apalagi sudah dilengkapi dengan beberapa contoh dan dialog sehingga para pembaca bisa merasakan prosesnya," pungkasnya.