Bincang Fatwa Muhammadiyah tentang Ibadah saat Pandemi bersama Kaprodi HKI

Jum'at, 19 Juni 2020 00:00 WIB

UMM Talks live instagram dengan narasumber Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam, FAI-UMM, Muhammad Arif Zuhri Lc.,M.H.I., pada Jumat, 19 Juni 2020, pukul 13.00 WIB, dipandu oleh host Maharina Novia. Dalam bincang-bincang tersebut, Arif Zuhri menyampaikan bahwa New Normal bukanlah kondisi Normal seperti yang banyak dipahami oleh masyarakat. New Normal merupakan masa transisi. New Normal sejatinya belumlah normal. Sehingga ini merupakan hal yang perlu diketahui agar tidak salah dalam mengambil kebijakan dan tindakan, termasuk dalam beribadah. Harus tetap waspada dan mematuhi aturan yang berlaku.

 

Dalam agenda tersebut, ada beberapa hal yang ditanyakan dan dijawab langsung oleh narasumber. Berikut disajikan pertanyaan dan jawabannya.

1. Bagaimana Hukum Sholat menggunakan Masker?

Shalat tetap sah meskipun menggunakan masker. Memang ada hadis sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. melarang seseorang untuk menutup mulutnya ketika shalat. Namun, hadis ini menjadi perdebatan di kalangan pakar hadis. Lebih banyak menganggapnya sebagai hadis dhaif (lemah) sehingga tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Namun, ada sebagian yang mengganggapnya sebagai hadis hasan (baik) sehingga dapat dijadikan sandaran hukum.

Jika mengambil pendapat pertama dari yang disebutkan, tentu tidak menjadi suatu halangan jika seseorang shalat dengan menggunakan masker.

 Jika mengambil pendapat kedua, maka situasi pandemic covid-19 ini tentulah tidak sama dengan kondisi normal. Situasi ini masuk kategori darurat. Dalam kondisi darurat, hukum yang berlaku menjadi berbeda dengan hukum dalam kondisi normal. Ada kaidah fikih yang menyatakan: Adh-dharuratu tubihu al-mahzhurat (darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang). Berarti menggunakan masker saat shalt  dalam kondisi darurat merupakan hal yang dibolehkan secara syar’i.

Bahkan dalam situasi darurat covid-19 ini, masker menjadi suatu hal yang mesti dipenuhi dalam setiap aktivitas yang melibatkan banyak orang atau di luar rumah, termasuk beribadah di masjid. Saat ini, masker menjadi suatu kebutuhan. Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa al-hajah tanzilu manzilata adh-dharurah (kebutuhan itu menempati posisi darurat). Sehingga, masker menjadi kebutuhan dan hal yang mesti dipenuhi dalam kondisi pandemic covid-19 ini.

Artinya, dalam situasi darurat covid-19 ini, menggunakan masker saat shalat berjamaah tetaplah sah shalatnya bahkan masker menjadi suatu hal yang mesti dipenuhi dalam kondisi saat ini.

2. Apa hukum meninggalkan shalat Jumat lebih dari 3 kali dan bagaimana pelaksanaan sholat jumat di tengah wabah pandemic covid-19?

Terkait dengan sholat jumat, banyak beredar informasi di masyarakat terkait dengan hadis meninggalkan sholat jumat lebih dari 3 kali. “Siapa meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena meremehkan (tahaawunan), niscaya Allah menutup hatinya,” (HR At-Turmudzi, At-Thabrani, Ad-Daruquthni).

Perlu diketahui, bahwa hadis tersebut memberi catatan dengan kata tahaawunan (meremehkan). Dalam kondisi normal, meninggalkan shalat jumat dengan sengaja (tentu ini meremehkan), maka hadis tersebut berlaku.

Akan tetapi apabila dikaitkan dengan kondisi darurat global covid-19 tentu tidak demikian adanya. Karena tidak melaksanakan shalat jumat dalam kondisi darurat covid-19 ini tentu bukan karena kesengajaan dan meremehkan, tetapi ada udzur syar’i yang menghendaki demikian. Dengan ketentuan, menggantinya dengan shalat zuhur di rumah masing-masing. Dalam kaidah fikih disebutkan idza taadzdzara al-ashlu yushaaru ila al-badali (apabila hal pokok / dasar tidak dapat dilaksanakan, maka dialihkan kepada penggantinya). Jika shalat Jumat tidak dapat dilaksanakan disebabkan kondisi darurat covid-19 ini, maka harus diganti dengan shalat zuhur (di rumah masing-masing).

Bahkan di wilayah yang masih dikategori zona merah, mengganti shalat Jumat dengan shalat zuhur di rumah masing-masing itu menjadi kemestian dan lebih utama dilakukan.  Dalam ajaran Islam, menolak hal yang bisa membawa pada kerusakan adalah hal yang lebih utama ketimbang mengambil maslahat (dar’u al-mafaasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih). Maka, shalat zuhur di rumah masing-masing (sebagai pengganti shalat Jumat) lebih utama (ini yang mesti diambil) ketimbang shalat Jumat di masjid yang berpotensi menyebabkan penularan wabah covid-19. Dan esensinya sama saja dengan shalat Jumat di masjid dalam kondisi normal.

Bagi wilayah yang masuk kategori hijau, dibolehkan untuk melaksanakan shalat Jumat dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/EDR/I.0/E/2020 disebutkan demikian dengan redaksi “dapat dilaksanakan”. Redaksi ini memberi arti “belum diwajibkan, tapi dibolehkan”.

Meski di zona hijau diberi kebolehan untuk melaksanakan shalat Jumat,  namun ada ketentuan yang harus dilakukan oleh Masjid (dalam hal ini takmir) dan juga jamaah. Misal, Masjid harus dijamin kebersihannya, jamaah tidak lebih dari 30% daya tampung masjid, jamaah mengenakan masker, membawa sajadah masing-masing, yang sakit tidak ke masjid, mengecek temperature badan dan yang melebihi suhu normal agar tidak ikut berjamaah, dan lain-lain. Protokol kesehatan ini bisa dilihat dalam Lampiran pada Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 05/EDR/I.0/E/2020.

Karena daya tampung Masjid menjadi tidak maksimal karena mematuhi protokol kesehatan yang berlaku dan demi menjaga keselamatan bersama, tentu boleh mengerjakan secara shif dan pahalanya sama saja bagi  mereka yang melaksanakan di shif kedua dan seterusnya. Sekali lagi, ini kondisi darurat. Tentu hukum yang berlaku berbeda dengan hukum dalam kondisi normal. Namun menjadi pertanyaan, apakah semua masjid siap untuk melaksanakan dengan shif-shifan ini?

Jika ada orang yang tidak dapat melaksakanan shalat Jumat karena daya tampung masjid yang sudah penuh, masjid tidak menyelenggarakan shif-shifan, dan tidak mendapati masjid lain untuk melaksanakan shalat Jumat, maka cukuplah baginya mengganti dengan shalat zuhur di rumah masing-masing. Dalam ajaran Islam, beragama itu mudah dan fleksibel, sehingga dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi. Dalam Q.S. At-Taghabun: 16 disebutkan bahwa hendaklah seseorang bertakwa kepada Allah sesuai kemampuannya. Jika tidak mampu melaksanakan hukum asli karena ada udzur tertentu, maka dialihkan kepada penggantinya atau lainnya sesuai ketentuan syar’i.

3. Bagaimana hukum shalat dengan shaf yang berjarak dalam kondisi darurat covid-19?

Dalam kondisi darurat covid-19, shalat seseorang tetap sah meskipun shafnya berjarak. Bahkan perenggangan shaf inilah yang harus dilakukan sesuai ketentuan protokol kesehatan yang berlaku.

Secara umum, lazim kita dengan ketika hendak shalat , Imam menganjurkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Banyak hadis dengan redaksi yang beragam pula yang berbicara terkait meluruskan atau merapatkan shaf di dalam shalat. Namun, perintah di situ tidaklah menunjukkan kewajiban melainkan kesunnahan (anjuran). Karena terdapat petunjuk lain yang mengarah ke hukum sunnah tersebut. Misalnya hadis riwayat Ibn Majah yang mengatakan: “Sawwu shufufakum fa inna taswiyata ash-shaffi min tamami ash-shalah” (Luruskanlah shaf-shaf kalian karena sesungguhnya meluruskan shaf merupakan bagian (sebagian) dari kesempurnaan shalat). Petunjuk yang mengarahkan kepada hukum sunnah di sini adalah kalimat min tamami ash-shalah (sebagian kesempurnaan shalat). Tidak disebutkan sebagai hal yang dapat membatalkan shalat atau semisalnya.

Ada juga hadis lain yang menyatakan bahwa Rasulullah memerintahkan untuk menegakkan atau meluruskan shaf. Kemudian ada salah seorang sahabat yang menempelkan mata kaki dengan mata kaki, lutut dengan lutut, dan bahu dengan bahu. Namun, ini hanya tindakan salah seorang sahabat dan tidak ada penjelasan bahwa sahabat yang lain juga demikian. dan Rasulullah pun tidak melarangnya. Sehingga, menempelkan hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang wajib, melainkan boleh-boleh saja. Ingat, boleh saja hukumnya. Di antara pertanyaan yang perlu direnungkan jika hal itu diwajibkan: apakah mungkin bisa melakukan demikian secara utuh? Jika seseorang shalat dan di samping berdiri orang yang lebih rendah atau lebih tinggi dari dirinya, apakah mungkin bisa demikian? Tentu menjadi sulit terpenuhi. Sehingga tidak tepat jika menempelkan hal-hal tersebut menjadi sebuah kewajiban. Ditambah lagi, Rasulullah pun tidak memerintahkan demikian.

Kembali ke kondisi darurat covid-19, maka tentu kondisi ini tidak sama dengan kondisi normal. Kondisi covid-19 ini menghendaki seseorang berjarak dengan yang lainnya (perenggangan fisik) untuk menghentikan penyebaran virus covid-19. Dalam ajaran Islam, kita diminta untuk menjauh dari hal-hal yang membawa kepada kemudharatan. Rasulullah bersabda: La dharar wa la dhirar (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain). Dalam shaf yang rapat saat shalat jamaah di Masjid (atau semisalnya yang diakses secara umum) tentu berpotensi adanya hal yang membahayakan yaitu kemungkinan peyebaran virus covid-19. Maka hal yang membahayakan ini harus dijauhi dengan cara merenggangkan shaf. Sehingga, shalat seseorang yang shafnya renggang/berjarak antara satu dengan lainnya tetaplah sah dan inilah yang harus dilakukan dalam kondisi darurat covid-19 ini.

Tanggal : Jum'at, 19 Juni 2020 00:00 WIB - 19 Juni 2020

Shared: